Sabtu, 27 September 2014

sistem informasi psikologi

SISTEM INFORMASI PSIKOLOGI

 Dalam tulisan kali ini saya akan membahas mengenai sistem informasi psikologi, mungkin dari kita sudah banyak yang mengetahui tentang apa itu sistem informasi psikologi namun dalam tulisan saya ini saya akan membahas lebih detai mengenai sistem informasi psikologi mulai dari, apa itu sistem, apa itu informasi, apa itu psikologi dan kemudian yang paling penting apa itu sistem informasi psikologi, oleh karena itu saya akan mulai membahasnya.



Apa itu Sistem?

            Sistem adalah kumpulan dari sub-sub sistem, elemen-elemen, prosedur-prosedur yang berintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu seperti informasi, tujuan dan lainnya. Sistem sendiri berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) yang dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Secara singkat sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau himpunan dari unsur, komponen, atau variabel-variabel yang terorganisasi, saling berinteraksi, saling tergantung satu sama lain dan terpadu. Sistem bisa berupa abstraksi atau fisis (Davis, 2002). Sistem yang abstrak adalah susunan yang teratur dari gagasan-gagasan atau konsepsi yang saling tergantung. Sedangkan sistem yang bersifat fisis adalah serangkaian unsur yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan (Sutabri, 2004).


Apa itu Informasi?

                 Informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu bentuk penting bagi pengguna dan mempunyai nilai yang nyata atau dapat dirasakan manfaatnya dalam keputusan-keputusan yang akan datang.
     Kualitas dari suatu informasi tergantung dari 3 (tiga) hal yaitu :
a.       Akurat (accurate)
Informasi harus bersifat bebas dari kesalahan serta tidak boleh menyesatkan. Akurat juga berarti informasi harus jelas mencerminkan maksudnya.
b.      Tepat waktu (timelines)
Informasi yang sampai pada penerima tidak boleh tertunda. Informasi yang sudah usang nilainya akan berkurang. Karena informasi merupakan landasan didalam pengambilan suatu keputusan.
c.       Relevan (relevance)
Informasi harus mempunyai manfaat untuk penggunanya. Relevansi informasi untuk setiap orang, satu dan lainnya tentu berbeda.

Jadi, Sistem Informasi dapat diartikan kumpulan elemen yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk satu kesatuan untuk mengintegrasikan data yang dikumpulkan, dikelompokkan dan diolah sedemikian rupa sehingga menjadi suatu informasi yang berharga bagi yang menerimanya. Dalam system informasi terdapat elemen dan komponen yaitu;
1.                Elemen Sistem Informasi
Ada beberapa elemen yang membentuk sebuah sistem, yaitu : tujuan, masukan, proses, keluaran, batas, mekanisme pengendalian dan umpan balik serta lingkungan. Berikut penjelasan mengenai elemen-elemen yang membentuk sebuah sistem :
a.             Tujuan
Setiap sistem memiliki tujuan (Goal), entah hanya satu atau mungkin banyak. Tujuan inilah yang menjadi pemotivasi yang mengarahkan sistem. Tanpa tujuan, sistem menjadi tak terarah dan tak terkendali. Tentu saja, tujuan antara satu sistem dengan sistem yang lain berbeda.
b.            Masukan
Masukan (input) sistem adalah segala sesuatu yang masuk ke dalam sistem dan selanjutnya menjadi bahan yang diproses. Masukan dapat berupa hal-hal yang berwujud (tampak secara fisik) maupun yang tidak tampak. Contoh masukan yang berwujud adalah bahan mentah, sedangkan contoh yang tidak berwujud adalah informasi (misalnya permintaan jasa pelanggan).
c.             Proses
Proses merupakan bagian yang melakukan perubahan atau transformasi dari masukan menjadi keluaran yang berguna dan lebih bernilai, misalnya berupa informasi dan produk, tetapi juga bisa berupa hal-hal yang tidak berguna, misalnya saja sisa pembuangan atau limbah. Pada pabrik kimia, proses dapat berupa bahan mentah. Pada rumah sakit, proses dapat berupa aktivitas pembedahan pasien.
d.            Keluaran
Keluaran (output) merupakan hasil dari pemrosesan. Pada sistem informasi, keluaran bisa berupa suatu informasi, saran, cetakan laporan, dan sebagainya.
e.             Batas
Yang disebut batas (boundary) sistem adalah pemisah antara sistem dan daerah di luar sistem (lingkungan). Batas sistem menentukan konfigurasi, ruang lingkup, atau kemampuan sistem. Sebagai contoh, tim sepakbola mempunyai aturan permainan dan keterbatasan kemampuan pemain. Pertumbuhan sebuah toko kelontong dipengaruhi oleh pembelian pelanggan, gerakan pesaing dan keterbatasan dana dari bank. Tentu saja batas sebuah sistem dapat dikurangi atau dimodifikasi sehingga akan mengubah perilaku sistem. Sebagai contoh, dengan menjual saham ke publik, sebuah perusahaan dapat mengurangi keterbasatan dana.
f.             Mekanisme Pengendalian dan Umpan Balik
Mekanisme pengendalian (control mechanism) diwujudkan dengan menggunakan umpan balik (feedback), yang mencuplik keluaran. Umpan balik ini digunakan untuk mengendalikan baik masukan maupun proses. Tujuannya adalah untuk mengatur agar sistem berjalan sesuai dengan tujuan.
g.            Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada diluar sistem. Lingkungan bisa berpengaruh terhadap operasi sistem dalam arti bisa merugikan atau menguntungkan sistem itu sendiri. Lingkungan yang merugikan tentu saja harus ditahan dan dikendalikan supaya tidak mengganggu kelangsungan operasi sistem, sedangkan yang menguntungkan tetap harus terus dijaga, karena akan memacu terhadap kelangsungan hidup sistem.

2.    Komponen Sistem Informasi
a.    Orang (People)
Semua pihak yang bertanggung jawab dalam hal penyokong atau sponsor system informasi (system owner), pengguna sistem (system users), perancang sistem (system designer) dan pengembang sistem informasi (sistem development).
b.    Prosedur
Sekumpulan aturan atau tahapan-tahapan untuk membuat, memakai, memproses dan mengolah sistem informasi ataupun hasil keluaran dari sistem informasi tersebut.
c.    Basis Data
Secara konseptual, data adalah deskripsi tentang benda, kejadian, aktivitas, dan transaksi yang tidak mempunyai makna dan tidak berpengaruh langsung secara langsung kepada pemakainya atau disebut juga sebagai sekumpulan fakta mentah dalam isolasi.
d.   Perangkat Keras (hardware)
Mencakup piranti-piranti fisik seperti komputer, printer, monitor, harddisk, DLL.
e.   Perangkat Lunak (sotfware)
Sekumpulan instruksi-instruksi atau perintah-perintah yang memungkinkan perangkat keras bisa digunakan untuk memproses data, atau sering disebut sebagai program.
f.    Jaringan (network)
Sistem penghubung yang memungkinkan suatu sumber dipakai secara bersama-sama, baik pada waktu dan tempat bersamaan ataupun berbeda



Apa itu Psikologi ?

            Ditinjau dari segi ilmu bahasa, kata psikologi berasal dari kata psyche artinya jiwa dan logos artinya ilmu pengetahuan (Basuki, 2008).  Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi psikologi tidak hanya ilmu yang mempelajari jiwa akan tetapi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Jadi dapat di ambil kesimpulan sederhana bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya



Apa itu Sistem Informasi Psikologi?

Sistem Informasi Psikologi adalah suatu sistem yang merupakan kombinasi dari manusia, fasilitas atau alat teknologi, media, prosedur dan pengendalian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyimpan data mengenai perilaku terlihat maupun tidak terlihat secara langsung serta proses mental yang terjadi pada manusia sehingga data tersebut dapat diubah menjadi informasi yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu seperti tujuan penelitian. Contoh nyata dari pengaplikasia dalam kehidupan adalah penggunaan teknologi dalam pengambilan data tes psikologi seperti data tes ist, tes Maxwell dan tes psikologi lainnya, dengan menggunakan komputer.


Sumber:
Basuki, A.M. (2008). Psikologi Umum. Depok : Universitas Gunadarma
Davis, B. G. (2002). Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Kusrini & Koniyo, Andri. (2007). Tuntunan Praktis Membangun Sistem Informasi Akutansi denganVisual Basic & Microsoft SQL Server. Yogyakarta : C.V. Andi Offset.
Marimin, Tanjung & Prabowo. (2006). Sistem Informasi Manajemen Sumber Daya Manusia. Bogor : Grasindo.
Maryono & Istiana Patmi. (2006). Teknologi Informasi dan Komunikasi. Yudhistira.
Sukardi & Sutarni, Sri. (2008). Bahasa Indonesia 3  SMA kelas  XII. Quadra.
Sutabri, T. (2004). Sistem Informasi Akuntansi. Yogyakarta: Andi Offset

www. Google.com

Senin, 26 Mei 2014

psikoterapi kelompok

A.  Definisi dan Sejarah Terapi Humanistik-Eksistensial 
Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh  psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Teori eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
            Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab berkaitan. Dalam penerapan-penerapan terapeutiknya eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada filosofis yang melandasi terapi. Pendekatan atau teori eksistensial-humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang berhubungan dengan sesama yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.
            Pendekatan eksistensial-humanistik mengembalikan pribadi kepada fokus sentral, sentral memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia – kesadaran diri dan kebebasan yang konsisten.
            Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
B.     Konsep Utama Terapi Humanistik-Eksistensial

1.      Kesadaran Diri
            Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.

2.       Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
            Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

3.      Penciptaan Makna
            Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
C. Tujuan-tujuan Terapeutik
Terapi eksistensial bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak atas kemampuannya.


D. Fungsi dan Peran Terapis dalam Terapi Humanistik-Eksistensial

Terapis dalam terapi humanistik eksistensial mempunyai tugas utama, yaitu berusaha untuk memahami klien sebagai sesuatu yang ada di dalam dunia ini. Dimana tekhnik yang digunakannya itu selalui mendahului suatu pemahaman yang mendalam terhadap kliennya. Prosedur yang digunakan bisa bervariasi, tidak hanya dari klien yang satu ke klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.


E.     Prosedur dan Teknik Terapi
Menurut Baldwin (1987), inti dari terapi ini adalah penggunaan pribadi terapi
1.      Kapasitas Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi Konseling. 
Meningkatkan kesadaran diri, yang mencakup kesadaran akan adanya alternative, motivasi, factor yang mempengaruhi seseorang dan tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling. Adalah tugas terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa peningkatan kesadaran memerlukan imbalan.
2.      Kebebasan dan Tanggung Jawab : Implikasi Konseling. 
Terapis eksistensial terus-menerus mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas situasi mereka. Mereka tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain, menyalahkan kekuatan dari luar, ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien tidak mau mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka sendirilah yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka untuk ikut terlibat dalam usaha perubahan pribadi (May & Yalom, 1989; Yalom 1980). 
Terapis membantu klien dalam menemukan betapa mereka telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat mereka untuk belajar mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan itu. Kalau tidak berbuat seperti itu berarti klien tak mampu berjalan dan secara neurotik menjadi tergantung pada terapis.
Terapis perlu mengajarkan klien bahwa secara eksplisit mereka menerima fakta bahwa mereka memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya.
3.      Usaha Untuk Mendapatkan Identitas dan Bisa Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi Konseling. 
Bagian dari langkah terapeutik terdiri dari tugasnya untuk menantang klien mereka untuk mau memulai meneliti cara dimana mereka telah kehilangan sentuhan identitas mereka, terutama dengan jalan membiarkan orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses terapi itu sendiri sering menakutkan bagi klien manakala mereka melihat kenyataan bahwa mereka telah menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam hubungan terapi mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan menolak untuk memberikan penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis memaksa klien berkonfrontasi dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus bisa menemukan jawaban mereka sendiri.
4.      Pencarian Makna : Implikasi Konseling. 
Berhubungan dengan konsep ketidakbermaknaan adalah apa yang oleh pratis eksistensial disebut sebagai kesalahan eksistensial. Ini adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan ketidaksempurnaan atau kesadaran akan kenyataan bahwa orang ternyata tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah kesadaran bahwa tindakan serta pilihan sesorang mengungkapkan kurang dari potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai pribadi. Manakala orang mengabaikan potensi-potensi tertentu yang dimiliki, maka tentu ada perasaan kesalahan eksistensial ini. Beban kesalahan ini tidak dipandang sebagai neurotik, juga bukan sebagai gejala yang memerlukan penyembuhan. Yang dilakukan oleh terapis eksistensial adalah menggalinya untk mengetahui apa yang bisa dipelajari klie tentang cara mereka menjalani kehidupan. Dan ini bisa digunakan untuk menantang kehadiran makna dan arah hidup.
5.      Kecemasan Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi Konseling. 
Kecemasan merupakan materi dalam sesi terapi produktif. Kalau klien tidak mengalami kecemasan maka motivasi untuk mengalami perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis yang berorientasi eksistensial dapat menolong klien mengenali bahwa belajar bagaimana bertenggang rasa dengan keragu-raguan dan ketidakpastian dan bagaimana caranya hidup tanpa ditopang bisa merupakan tahap yang perlu dialami daam perjalanan dari hidup yang serba tergantung kea lam kehidupan sebagai manusia yang lebih autonom. Terapis dan klien dapat menggali kemungkinan yang ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa disertai dari pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa berkurang pada saat klien mengalami hal-hal yang ebih memuaskan dengan cara-cara hidup yang lebih baru. Maakala klien menjadi lebih percaya diri maka kecemasan mereka sebagai akibat dari ramalan-ramalan akan datangnya bencana akan menjadi berkurang.
6.      Kesadaran Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi Konseling. 
Latihan dapat memobilisasikan klien untuk secara sungguh-sungguh memantapkan waktu yang masih mereka miliki, dan ini bisa menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti kehidupan yang lebih bermakna.


F.  Tahap-tahap Pelaksanaan Terapi Humanistik Eksistensial

            Pendekatan ini bisa menggunakan beberapa teknik dan konsep psikoanalitik dan juga bisa menggunakan teknik kognitif-behavioral. Metode ini berasal dari Gestalt dan analisis transaksional. Terdapat tiga tahap yang dapat dilakukan oleh terapis dalam terapi humaniatik eksistesial, antara lain :
  • Tahap pendahuluan
   Konselor mambantu klien dalam mengidentifikasi dan mnegklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Klien diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercemin pada eksistensial mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
  • Tahap pertengahan
Klien didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dan sistem mereka. Semangat ini akan memberikan klien pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
  • Tahap akhir
Berfokus untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Klien didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Klien biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupannya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat klien sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaan kebebasan pribadinya.

G. Kekurangan dan Kelebihan Terapi Humanistik-Ekstensial
1.   Kelebihan
·      Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
·      Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri
·      Memanusiakan manusia
·      Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
·      Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa
2.   Kelemahan
·      Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
·      Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas
·      Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
·      Memakan waktu lama.

H. Contoh Kasus yang Biasa Ditangani dan Efeknya :

1.      Kasus Pertama :

Sebagai contoh, Leon seorang mahasiswa, mungkin melihat dirinya sebagai dokter masa depan, tetapi  nilainya yang dikeluarkan dari sekolah kedokteran ternyata dibawah rata-rata. Perbedaan antara dengan apa Leon melihat dirinya (konsep diri) atau bagaimana ia ingin melihat dia (ideal konsep diri) dan realitas kinerja akademis yang buruk dapat menyebabkan kegelisahan dan kerentanan pribadi, yang dapat memberikan motivasi yang diperlukan untuk masuk terapi. Leon harus melihat bahwa ada masalah atau, setidaknya bahwa ia tidak cukup nyaman untuk menghadapi penyesuaian psikologis untuk mengeksplorasi kemungkinan untuk perubahan.
Konseling berlangsung, klien dapat mengeksplorasi lebih luas keyakinannya dan perasaan (Rogers, 1967). Mereka dapat mengekspresikan ketakutan mereka, rasa bersalah kecemasan, malu, kebencian, kemarahan, dan lain sebagainya. emosi telah dianggap terlalu negatif untuk menerima dan memasukkan ke dalam diri mereka. Dengan terapi, orang distortir kurang dan pindah ke penerimaan yang lebih besar dan integrasi perasaan yang saling bertentangan dan membingungkan. Mereka semakin menemukan aspek dalam diri mereka yang telah disimpan tersembunyi.
Sebagai klien merasa dimengerti dan diterima, mereka menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman mereka. Karena mereka merasa lebih aman dan kurang rentan, mereka menjadi lebih realistis, menganggap orang lain dengan akurasi yang lebih besar, dan menjadi lebih mampu untuk memahami dan menerima orang lain. Individu dalam terapi datang untuk menghargai diri mereka lebih seperti mereka, dan perilaku mereka menunjukkan lebih banyak fleksibilitas dan kreativitas. Mereka menjadi kurang peduli tentang memenuhi harapan orang lain, dan dengan demikian mulai berperilaku dengan cara yang lebih benar untuk diri mereka sendiri. Mereka bergerak ke arah yang lebih berhubungan dengan apa yang mereka alami pada saat ini, kurang terikat oleh masa lalu, kurang ditentukan, lebih bebas untuk membuat keputusan, dan semakin percaya diri masuk untuk mengelola kehidupan mereka sendiri.
 Dari contoh kasus Leon dapat diambil kesimpukan bahwa salah satu alasan klien mencari terapi adalah perasaan tidak berdaya dasar, dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan atau secara efektif mengarahkan hidup mereka sendiri. Mereka mungkin berharap untuk menemukan “jalan” melalui bimbingan terapis. Dalam kerangka orang-terpusat, namun klien segera belajar bahwa mereka dapat bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dalam hubungan dan bahwa mereka dapat belajar menjadi lebih bebas dengan menggunakan hubungan untuk mendapatkan diri yang lebih besar pemahaman.

2.      Kasus Kedua   :
Sungguh mengenaskan, seorang ibu muda (Junania Mercy 37) meracuni ke-empat anak-anaknya, memandikan mereka, menyisir rambutnya, kemudian disandingkan bersama-sama dengan rapi diatas tempat tidur. Kemudian baru sang ibu mengakhiri hidupnya dengan minum racun yang sama. Kejadian yang cukup menyayat hati, 4 orang anak kecil itu bagaikan sedang tidur saja, sang ibu ingin anak-anaknya ditemukan dalam keadaan bersih dan rapi. Bisa dibayangkan bahwa ibu itu menyaksikan anaknya sekarat, entah muntah, entah buang-air, entah badannya kejang-kejang karena keracunan. Ia merekamnya dengan sebuah ponsel kemudian ia membersihkannya dan menata mayat anak-anaknya dengan rapi. Waktu yang mungkin cukup panjang prosesnya. Kemudian ia memilih pakaian terbaiknya dan mengakhiri hidupnya. Dan tentu saja mayat sang ibu ketika ditemukan tidak sebersih anak-anaknya.
Ibu Mercy adalah gambaran seorang yang mempunyai tekanan berat, persoalan rumah-tangga, ekonomi dan problem kesehatan anak ke-2nya yang mempunyai penyakit kelainan darah yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tak tahu kemana lagi harus meminta tolong, dan ia kemudian menjerit dengan jeritan yang tak terungkapkan dengan suara, ia bunuh diri.
Pada saat seorang klien ingin bunuh diri karena merasa sudah tidak dapat menanggung beban hidup diri & keluarganya, seperti kasus bu Mercy. Terapis Eksistensial mungkin memandangnya sebagai simbolik. Karena bukankah berarti klien merasa mati sebagai pribadi, apakah klien menggunakan potensi manusiawinya, apakah klien memilih mati hanya sekedar mengukuhkan kehidupan. Terapis Eksistensial akan mengonfrontasikan klien dengan masalah makna dan maksud dalam hidupnya. Sehingga klien mempunyai alasan untuk ingin melanjutkan hidup & melakukan sesuatu untuk menemukan guna tujuan yang akan membuat dirinya merasa lebih berarti dan hidup, karena dalam terapis konselor akan mengajak klien memahami dirinya sendiri sebagai manusia yang hidup berdampingan dan selalu dihadapkan oleh kenyataan-kenyataan pahit atau manis sehingga mampu eksis dalam kehidupannya.
Perasaan bersalah (kasus: tidak mampu membiayai pengobatan anaknya) adalah kekuatan dominan dalam kehidupan klien. Bagaimanapun banyak dari perasaan bersalahnya yang merupakan perasaan bersalah neurotik karena ia berlandaskan pandangan tentang mengecewakan orang lain dan bukan memenuhi pengharapan mereka. Klien harus belajar bahwa perasaan bersalah akan berguna jika berlandaskan kesadarannya atas penyia-nyian potensinya sendiri. Terapi eksistensial akan melihat harapan klien dalam belajar untuk menemukan keterpusatannnya sendiri dan dalam hidup dengan nilai-nilai yang dipilih dan diciptakannya sendiri. Dia juga bisa berhubungan dengan orang lain dengan kekuatannya sendiri untuk membentuk suatu hubungan yang dependen.
Tujuan dari terapi ini adalah menyajikan kondisi-kondisi untuk memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan. Menghapus penghambat-penghambat aktualisasi potensi pribadi. Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri. Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab arah kehidupannya sendiri.
3.         Kasus Ketiga: Introspeksi Sebagai Terapi Humanistik Eksistensial
Introspeksi adalah proses pengamatan terhadap diri sendiri dan pengungkapan pemikiran dalam yang disadari, keinginan, dan sensasi. Proses tersebut berupa proses mental yang disadari dan biasanya dengan maksud tertentu dengan berlandaskan pada pikiran dan perasaannya. Bisa juga disebut sebagai kontemplasi pribadi, dan berlawanan dengan ekstropeksi yang berupa pengamatan terhadap objek-objek di luar diri. Introspeksi mepunyai arti yang sama dengan refleksi diri.
Sering dikatakan bahwa Wilhelm Wundt, bapak psikologi modern adalah orang pertama yang mengadopsi introspeksi pada psikologi eksperimental, meskipun gagasan metodologisnya telah disajikan lama sebelumnya, seperti pada abad ke-18 filsuf merangkap psikolog Jerman seperti Alexander Gottlieb Baumgarten atau Johann Nicolaus Tetens. Introspeksi adalah pemeriksaan pikiran dan perasaan sadar diri sendiri. Dalam psikologi proses introspeksi bergantung secara eksklusif pada pengamatan kondisi mental seseorang, sementara dalam konteks spiritual mungkin merujuk pada pemeriksaan jiwa seseorang. Introspeksi berkaitan erat dengan refleksi diri manusia dan kontras dengan ekstrospeksi. Introspeksi umumnya menyediakan akses istimewa ke keadaan mental kita sendiri, tidak dimediasi oleh sumber-sumber pengetahuan lainnya, sehingga pengalaman individu dari pikiran adalah unik. Introspeksi dapat menentukan sejumlah keadaan mental termasuk: Sensorik, fisik, kognitif, emosional dan sebagainya.
Pada beberapa kepercayaan introspeksi digunakan sebagai cara untuk terapi diri contohnya adalah pada agama Islam, penganut agama Islam mengenal introspeksi diri dengan kata muhasabah. Muhasabah sendiri memiliki arti introspeksi atau mawas atau meneliti diri, yaitu menghitung perbuatan pada tiap tahun, tiap bulan, tiap hari bahkan setiap saat. Dalam bermuhasabah seorang muslim melakukan review terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini adalah benar dan sesuai dengan ajaran Islam atau tidak. Kegiatan ini memiliki kesamaan dengan salah satu metode psikoterapi yaitu self-help atau menolong diri sendiri serta dalam pelaksanaan instropeksi diri menggunakan prinsip humanistik bahwa sebenarnya jawaban atas masalah manusia terdapat dalam dirinya sendiri.
Dalam melakukan introspeksi seseorang melakukan pengamatan terhadap apa yang telah ia lakukan selama ini, kemudian ia menilai apakah yang ia lakukan telah sesuai dengan hidupnya atau tidak, yaitu apakah ia sudah memenuhi perannya dengan baik (sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sesuai status yang melekat pada dirinya). Setelah melakukan proses pengamatan tersebut jika sudah terpenuhi maka ia dapat menyukuri atau menaikkan tujuannya lebih tinggi, namun jika belum terpenuhi maka ia akan melakukan pemikiran yang lebih jauh untuk menemukan hal-hal yang menghambatnya dalam memenuhi perannya serta menentukan tindakan serta membangun rencana yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi diri untuk mencapai tujuan pemenuhan peran tersebut.

Daftar Pustaka :
·         Corey Gerald, 2009, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: PT Refika Aditama
·         Misiak, henryk.2005.psikologi fenomenologi,eksistensial dan humanistic. Bandung: PT Rafika aditama
·         Semiun,Yustinus.(2006). Kesehatan mental 3. Kanisius: Yogyakarta
·         Feist, Jess dan Feist, Gregory. (2010). Teori Kepribadian. New York: Salemba Humanika
·         Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group




Nama Kelompok :
  1. Albi Samjaya
  2. Adisti Natalia
  3. Guntur 
  4. Liska